Beranda | Artikel
Apakah Islam Termasuk Logika Mistika ala Tan Malaka?
21 jam lalu

Saat ini, di media sosial, kembali viral sebuah istilah logika mistika bersamaan dengan popularitas diskusi filsafat yang meningkat. Tidak sulit menemukan berbagai unggahan yang membahas pandangan filsafat tertentu yang dikaitkan dengan fenomena terkini. Salah satunya adalah fenomena kepercayaan banyak masyarakat Indonesia terhadap hal klenik berupa santet dan perdukunan. Isu ini dibahas oleh beberapa influencer sebagai penyebab Indonesia tidak menjadi negara maju, karena terjebak dalam logika mistika yang dipopulerkan oleh Tan Malaka. Tak sedikit yang memperluas pengkategorian sengkarut logika mistika ini kepada fenomena meningkatnya ketaatan masyarakat terhadap agama. Lalu, apa sebenarnya logika mistika itu? Benarkah Islam merupakan bagian dari logika mistika yang dimaksudkan Tan Malaka?

Mengenal logika mistika ala Tan Malaka

Logika mistika adalah struktur logika yang berdasarkan kerohanian. Istilah ini dikenal melalui karya magnum opus Tan Malaka, yakni Madilog (1943). Dalam karya beliau, logika mistika dijelaskan sebagai konsep keyakinan yang melekat pada seseorang berdasarkan pada dogma-dogma dari ayat suci Maha Dewa yang berkuasa. Narasi ini dibangun oleh Tan Malaka melalui cerita tentang Dewa Rah dalam keyakinan Mesir Kuno yang dianggap sebagai Maha Dewa yang mencipta dan menguasai alam semesta (hal. 32-33).

Di dalam Madilog, logika mistika dijadikan konsep yang pertama kali diuraikan dalam bab panjang. Lalu, Tan Malaka menyelipkan berbagai contoh logika mistika sebagai penghalang kemajuan suatu dalam berbagai contoh di setiap bab yang diuraikannya. Beberapa argumennya menunjukkan bahwasanya logika mistika berupa penciptaan alam semesta, makhluk hidup, dan daurnya telah terbantahkan oleh filsafat sains yang lebih modern.

Berbagai bentuk logika mistika

Dalam Madilog, Tan Malaka sebetulnya membahas serba-serbi yang termasuk dalam pembahasan filsafat. Tujuannya adalah untuk mempresentasikan bahwa filsafat Madilog yang diusungnya dapat menjawab semua sengkarut permasalahan yang salah satunya disebabkan oleh logika mistika. Beberapa contoh yang dibawakan oleh Tan Malaka sebetulnya tidak ada yang eksplisit mengarah pada ajaran Islam. Hanya saja, Tan Malaka memotret fenomena yang terjadi di kampungnya terdahulu yang mayoritas beragama Islam. Begitu juga dengan fenomena sosial bank plecit di pra-kemerdekaan yang banyak dijalankan oleh orang Arab di Indonesia.

Tan Malaka sebetulnya lebih banyak mengkritisi beberapa konsep keyakinan akan hal gaib dan agama yang dibawakan dari takhayul dalam konsep animisme-dinamisme, filsafat Hindu dan Budha. Di antaranya adalah kritik Tan Malaka terhadap angan-angan keberhasilan jika beriman kepada sebuah keyakinan (akidah) sehingga malas bekerja. Juga keyakinan akan datangnya ratu adil yang akan membebaskan Indonesia dari penjajahan, yang melemahkan Jaya Baya dalam penceritaan Hindu masa lampau. Hal ini sebetulnya merupakan kritik yang lazim muncul di komunitas pemikir materialisme seperti Karl Marx dan yang lainnya.

PPDB As Sakinah

Kritik Tan Malaka terhadap masalah mistika juga disebutkan dalam hal. 265-266, tentang kesalahan orang yang menganggap segala bentuk konsep yang ada dalam ide secara jelas pastilah ada. Gambaran emas sebesar gunung dan konsep Tuhan adalah gambaran yang jelas mungkin di kepala, maka pastilah ada. Keyakinan tersebut menurut Tan Malaka secara materialisme adalah sebuah kesalahan logika.

Beliau membawakan fenomena yang terjadi semasa beliau di surau atau masjid di kampungnya, yang mana ada seorang rohaniawan mengajarkan bahwa “sesuatu yang diyakini mestilah ada”. Dikisahkan, rohaniawan itu menyugestikan bahwa di dalam kelapa ada ikan, lalu dibelahlah sebuah kelapa tersebut dan benar saja di dalamnya ada sebuah ikan. Keyakinan semacam ini menurut Tan Malaka tidak akan ada habisnya di Indonesia. Beliau mengkritik, “Rakyat Indonesia boleh saja ketinggalan dalam ilmu bukti seperti membangun kapal dll., tetapi dalam berbagai jenis doa (mantra) atau kepercayaan tidak akan kalah.”

Kritik lain yang beliau maksudkan dalam logika mistika adalah kesalahan observasi yang menghasilkan sebuah ramalan. Contoh yang beliau maksudkan adalah ramalan kiamat dalam keyakinan Kristen ortodoks, bahwa surga akan datang 1000 tahun setelah perang besar terjadi. Keyakinan ini menggeliat setelah Perang Dunia I usai. Namun, menurut Tan Malaka, ramalan berikut sebenarnya terbatalkan dengan adanya Perang Dunia II. Begitu pula dengan kejadian di surau beliau. Ketika itu, seluruh warga kampung melakukan satu salat berjemaah karena ada fenomena pohon pisang berjantung dua yang dianggap sebagai tanda kiamat. Begitupula ramalan Pak Belalang dan Jaya Baya yang disebutkan beratus tahun yang lalu.

Masih banyak contoh lainnya yang tersebar dalam setiap bab yang dituliskan Tan Malaka, setidaknya dihimpun dalam Bab “Lima Kesalahan”. Di akhir bab, beliau menyimpulkan kesalahan tersebut mayoritas berakar pada kesalahan apriori yang beliau sebut sebagai kesalahan mistifikasi. Contoh yang disebutkan tidak berkaitan dengan kekurangan dalam logika mereka, tetapi berkaitan dengan keyakinan mistik yang dianut, yakni pada kerohanian dewa atau alam.

Apakah Islam termasuk logika mistika?

Berdasarkan uraian yang dimaksudkan Tan Malaka dalam Madilog, bolehlah kita menimbang apakah contoh tersebut mewakili Islam yang sebenarnya? Apakah Islam termasuk dalam praktik kesalahan akibat mistifikasi? Maka, simaklah uraian berikut.

Pertama, Islam memiliki keyakinan pokok bahwasanya ada Tuhan yang bersifat gaib yang mencipta, mengatur, dan memelihara alam semesta. Keyakinan ini tidak bisa ditawar-tawar, sehingga wajib ada dalam keyakinan Islam. Allah ﷻ berfirman dalam pembukaan QS. Al-Baqarah,

الــم {1} ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ ِفيهِ هُدَى لِلْمُتَّقِينَ {2} الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ  يُنْفِقُونَ {3}

“Alif lam mim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah: 1-3)

Keyakinan pada Allah ﷻ dan hal gaib adalah bagian dari rukun iman yang membedakan seorang mukmin dengan orang kafir atau selainnya. Konstruksi keimanan pada hal yang gaib ini sangat diatur dalam Islam, sehingga tidak sembarangan orang menentukan sesuatu yang gaib ada secara hakiki, kecuali ada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah. Allah ﷻ berfirman,

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَيَعْلَمُهَآ إِلاَّ هُوَ

“Dan pada sisi Allahlah, kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia sendiri.” (QS. Al-An’am: 59)

Allah ﷻ juga berfirman, bahkan Nabi ﷺ pun tidak mengetahui hal gaib, kecuali apa yang Allah ﷻ berikan,

قُل لاَّيَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ وَمَايَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ

“Katakanlah (hai Muhammad), ‘Tiada siapa pun, baik di langit maupun di bumi yang mengetahui hal-hal yang gaib, kecuali Allah, dan mereka tidak mengetahui kapan mereka dibangkitkan’.” (QS. An-Naml: 65)

Kedua, fenomena yang terjadi di surau Tan Malaka misalnya, berkaitan dengan seseorang yang tidak punya otoritas akan ilmu gaib berkata tentang hal gaib. Hal ini menyelisihi ajaran Islam yang hakiki. Sehingga kritik tersebut tidak mengenai keyakinan agama Islam, tetapi mengenai fenomena masyarakat muslim yang dipotret di masa itu. Seluruh peramal dan juga rohaniawan yang dianggap mengetahui hal gaib atau bisa mendatangkan atau memprediksi hal gaib telah dibantah dengan ayat yang disebutkan di atas. Bahkan, banyak dalil tegas yang melarang seorang muslim untuk mempercayai ramalan. Dari Shafiyyah bin Abi Ubaid, dari salah seorang istri Nabi, diriwayatkan bahwa beliau ﷺ bersabda,

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عنْ شَيْءٍ فَصَدَّقَهُ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أرْبَعِينَ يَومًا

“Barangsiapa yang mendatangi peramal, menanyakan kepadanya sesuatu, lalu mempercayainya, maka salatnya tidak akan diterima empat puluh hari lamanya.” (HR. Muslim no. 2230)

Otoritas mengenai hal gaib seluruhnya dimiliki Allah ﷻ semata. Adapun semisal orang saleh mengetahui hal gaib atau firasat tentang masa depan, semuanya itu paling maksimal hanya dianggap sebagai tanda, bukan keyakinan yang pasti. Begitu pula, jika ada orang fasik mengetahui hal gaib dan benar, itu hanyalah bagian dari informasi yang dicuri setan dan telah dibumbui sejuta kebohongan. Maka, keyakinan Islam mana yang menunjukkan bolehnya meyakini ramalan tanpa ada otoritas dari penyampainya?

Ketiga, berdasarkan contoh yang dimaksudkan Tan Malaka, beliau mengkritisi bahwa keyakinan pada hal gaib itu tidak menghasilkan produktivitas. Karena adanya penyandaran diri secara berlebih kepada hal gaib sehingga seseorang menjadi malas berikhtiar atau meneliti suatu fenomena dari segi ilmiah. Kritik ini tidak mengenai pokok ajaran Islam yang menyuruh umatnya untuk berikhtiar sebaik mungkin dalam urusan dunia. Allah Ta’ala berfirman,

فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Apabila salat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10)

Ayat ini memerintahkan hamba agar setelah beribadah mengamalkan keimanan, seseorang juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya di dunia. Allah ﷻ memerintahkan untuk “bertebaran”, yang artinya hamba diperintahkan memaksimalkan usahanya di dunia untuk mendapatkan rezeki di dunia. Hal ini menunjukkan bahwasanya keimanan Islam tidak meninggalkan serta-merta urusan dunia. Hanya saja, Islam menggabungkan konsep idealisme dan materialisme secara apik, yakni bahwasanya hasil usaha di dunia itu sepenuhnya milik Allah ﷻ. Sehingga apabila hasilnya tidak sesuai ekspektasi seorang hamba, maka ia selamat secara psikologis dari perasaan bersalah atas dirinya yang tidak mendapatkan hasil tersebut.

Keempat, Islam mengajarkan umatnya untuk memaksimalkan potensi duniawi, termasuk percaya pada sains sembari bertawakal kepada Allah ﷻ. Dalam peperangan misalnya, Nabi ﷺ pun bertawakal kepada Allah ﷻ, tetapi beliau tidak meninggalkan sebab perlindungan dengan menggunakan pakaian baju besi. Artinya, Nabi ﷺ mengajarkan keimanan juga sekaligus praktiknya secara logis, yakni dengan mencari sebab duniawi. Seandainya di masa itu ada teknologi yang secara ilmiah lebih bisa menjaga diri Nabi ﷺ, tentu beliau akan menggunakannya sesuai kemampuan beliau.

Rasulullah ﷺ juga memerintahkan orang untuk berobat ketika sakit. Berdasarkan hadis Usamah bin Syarik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa seorang Arab badui bertanya,

يَا رَسُولَ اللَّهِ! أَلَا نَتَدَاوَى؟ قَالَ: نَعَمْ، يَا عِبَادَ اللَّهِ تَدَاوَوْا! فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءً أَوْ قَالَ دَوَاءً إِلَّا دَاءً وَاحِدًا. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُوَ؟ قَالَ: الْهَرَمُ

“Wahai Rasulullah, bolehkah kita berobat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berobatlah, karena Allah telah menetapkan obat bagi setiap penyakit yang diturunkan-Nya, kecuali satu penyakit!” Para sahabat bertanya, “Penyakit apa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Pikun.” (HR. At-Tirmidzi no. 1961 dan berkata, “Hadis ini hasan sahih.”)

Dan dalam perintah berobat ini pun, Nabi ﷺ memerintahkan untuk berobat kepada ahlinya. Sebagaimana Nabi ﷺ dalam sebuah hadis bersanad dha’if meminta seorang sahabat untuk berobat kepada sahabat lain yang mengerti ramuan obat tertentu.

Bukti lainnya adalah ketika dalam strategi perang, beliau menerima masukan Salman Al-Farisi berkaitan taktik perang yang secara ilmiah dalam ilmu perang memiliki potensi keberhasilan yang baik. Meskipun taktik perang parit ala Persia tersebut tidak lazim di bangsa Arab. Namun, karena taktik ini dimungkinkan lebih baik secara perhitungan perang pada kondisi tersebut, Nabi ﷺ pun menerapkannya. Hal ini karena Nabi ﷺ tahu bahwa otoritasnya secara sempurna ada dalam ruang agama. Adapun dalam urusan dunia, bisa jadi para sahabat dan orang lain lebih mengetahui hal tersebut. Ini sekaligus menjadi poin kelima dalam argumentasi ini. Nabi ﷺ bersabda,

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ

“Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.”  (HR. Muslim no. 2363)

Artinya, Islam memberikan ruang untuk umatnya memaksimalkan potensi pengetahuan duniawi untuk dikembangkan dan diteliti. Keyakinan pada hal gaib dalam Islam tidak bertentangan dengan usaha duniawi dan penelitian saintifik. Justru Islam tidak mencampuri urusan tersebut sebagai langkah menegasikan agama sebagaimana yang terjadi pada sebagian fenomena politik agama di abad kegelapan di Eropa.

Hanya saja, Islam juga memberikan batasan yang ketat berkaitan keyakinan yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunah. Pengetahuan dan proses sains tidak boleh mengganggu-gugat hal ini. Semisal proses penelaahan teori evolusi tidak boleh menegasikan keyakinan bahwa Nabi Adam alaihis salam adalah manusia pertama yang diturunkan ke bumi setelah melalui proses di surga.

Hal ini pun disetujui oleh Tan Malaka, ketika membahas secara deskriptif mengenai Islam di hal. 483. Bahwasanya ranah keyakinan dalam Islam berkaitan hal gaib dan ketuhanan adalah ranah yang tidak dimasuki oleh Madilog sebagai kerangka filsafat Tan Malaka. Keyakinan ini, menurut beliau ditentukan pada kecondongan perasaan saja. Dan setiap manusia merdeka atas pilihan sanubarinya ini.

Kritik atas miskonsepsi Tan Malaka terhadap Islam

Sebetulnya apa yang dikritisi Tan Malaka atas fenomena mistika dalam konteks masyarakat Islam didasarkan atas dua hal:

Pertama: Miskonsepsi masyarakat atas syariat Islam

Kedua: Miskonsepsi Tan Malaka atas syariat Islam

Maksudnya, contoh yang dikritisi Tan Malaka tidaklah bersumber dari syariat Islam. Namun, dari miskonsepsi masyarakat atas syariat Islam, seperti keyakinan pada orang alim yang bisa meramal atau mendatangkan hal gaib. Kesalahan yang tersebar di masyarakat ini, dipotret oleh Tan Malaka sebagai miskonsepsi Islam. Hal ini yang telah kami uraikan di atas dengan berbagai argumentasinya bahwa syariat Islam tidaklah demikian.

Kita juga perlu menyadari bahwasanya Tan Malaka menulis Madilog tanpa sumber rujukan di tangan, karena beliau menulisnya dalam berbagai pelarian sehingga buku-buku tidak ada di sisi beliau. Konsep keislaman yang dideskripsikan Tan Malaka pun hanya disandarkan pada pengalaman bermasyarakat di kampungnya di Padang terdahulu. Kehidupan di surau yang beliau lalui dipenuhi dengan pelajaran Islam yang baik, tetapi masih dihiasi dengan berbagai informasi invalid. Karena beliau memang hidup di masyarakat yang demikian. Beliau menjelaskan bahwa keluarganya masih terkait dengan tarikat atau pengamalan Islam dengan tata cara yang cenderung dari pengamalan sufisme. Ditambah lagi beliau kemudian melanjutkan sekolahnya ke Belanda dengan latar belakang perkembangan pemikiran filsafat ala barat. Beliau pun mengakui bahwa pelajaran Islam itu beliau murajaah kembali dari buku Snouck Hugronje dan orientalis barat lainnya. Hal ini membentuk pemahaman Tan Malaka akan Islam yang dapat dikritisi pada bagian tertentu.

Contoh konsep Islam yang kurang tepat dari Tan Malaka adalah ketika proses Nabi ﷺ menyendiri atau ber-tahanuts di Gua Hira. Beliau memaknai proses itu sebagai proses pencarian Nabi ﷺ akan esensi Tuhan. Beliau juga mengutip sejarawan barat yang menilai Nabi ﷺ mendapatkan sedikit informasi tentang konsep Yahudi dan kekristenan dari perjalanannya ke Suriah, Mesir, dan Asia Barat. Beliau menyebutkan bahwa Nabi ﷺ tertarik pada konsep ketuhanan milik Yahudi dan Kristen, yakni Allah ﷻ sebagai Tuhan yang tunggal (hal. 479).

Ungkapan ini dapat mengesankan bahwa Nabi ﷺ berkeyakinan tauhid karena pengaruh Yahudi dan Kristen. Padahal, realitanya Nabi ﷺ dan masyarakat Arab telah mengenal Allah ﷻ sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Namun, sebagian orang Arab dalam proses penyembahannya telah menyimpang sehingga menghadirkan berhala sebagai sesembahan untuk menghubungkan kepada Allah ﷻ.

أَلَا لِلَّهِ ٱلدِّينُ ٱلْخَالِصُ ۚ وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلْفَىٰٓ إِنَّ ٱللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِى مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى مَنْ هُوَ كَٰذِبٌ كَفَّارٌ

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka, melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.’ Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS. Az Zumar: 3)

Miskonsepsi ini akan menimbulkan miskonsepsi lainnya, seperti bahwa Nabi ﷺ mengembangkan konsep agama ini sendiri, bukan berdasarkan wahyu dari Allah ﷻ. Pandangan ini akhirnya menganggap agama sebagai sebuah konsep saja, bukan sesuatu yang suci. Sehingga kelazimannya, apa yang diperintahkan oleh agama bisa dikritisi atau tidak digunakan.

Miskonsepsi ini juga ditunjukkan dari beberapa kali Tan Malaka berusaha menjelaskan bahwa konsep surga itu berkaitan dengan latar belakang budaya di mana agama itu berkembang. Semisal tentang bidadari yang cantik matanya bak merpati dan air zam-zam yang ada di surga. Menurut Tan Malaka, ini adalah konsepsi surga dalam pandangan bangsa Arab (hal. 184). Berdasarkan penelaahan kami, tidak ada sumber valid yang mengatakan air zam-zam ada di surga atau berasal dari surga. Begitu pula, dengan konsep keindahan surga adalah konsep universal. Hanya saja, mungkin dalam pembahasaan Nabi ﷺ diterangkan keindahan surga itu dengan permisalan yang dipahami oleh kaumnya. Hal ini wajar, karena Nabi ﷺ diturunkan di tengah bangsa Arab yang pada akhirnya ajarannya meluas ke seluruh dunia. Maka, tidak tepat menyatakan konsep surga dalam Islam adalah konsep keindahan ala Arab semata.

Pujian Tan Malaka kepada Islam dan Nabi Muhammad

Meskipun terdapat miskonsepsi dalam pemahaman Tan Malaka terhadap Islam, serta berbagai proses perjalanan kehidupannya, tetapi Tan Malaka memuji agama Islam sebagai konsep yang paling konsekuen, lurus, dan selaras dengan konstruksi logika (hal. 482). Pujian lainnya adalah kepada sosok Nabi Muhammad ﷺ yang penyayang kepada orang yang memusuhinya. Kemudian sikap keadilan Nabi ﷺ terhadap seluruh manusia di bawah kepemimpinannya. Semua sikap tersebut tersemat pada Islam dan Nabi ﷺ.

Beliau juga memuji bahasa Arab sebagai atribut keagamaan yang memiliki nilai kebahasaan yang indah dan mulia. Segala informasi tentang Islam dan Arab masih begitu menarik bagi Tan Malaka. Namun, keterbatasan informasi dan upaya validasi di masanya itu pada akhirnya menghasilkan pemahaman yang dapat dikritisi. Terlebih lagi, Tan Malaka tidak dinilai sebagai ahli agama, melainkan sosok pemikir yang memberikan komentarnya pada fenomena di masyarakat. Sehingga, wajar saja jika Tan Malaka memiliki catatan kesalahan dalam proses pemotretannya terhadap Islam.

Kesimpulan

Dari panjangnya uraian di atas, kita bisa menyimpulkan bahwasanya Islam tidak termasuk dalam logika mistika yang dimaksudkan oleh Tan Malaka. Namun, praktik di masyarakat yang juga dilakukan oleh komunitas muslim, seperti ramalan dan perdukunan, termasuk dalam logika mistika yang bermasalah. Islam pun tidak menyetujui praktik logika mistika atau mistifikasi yang dipotret oleh Tan Malaka tersebut dalam Madilog.

Masyarakat, utamanya anak muda di media sosial yang tengah gandrung dengan istilah ini, perlu mengetahui bahwa logika mistika tidak menjadi sebab menegasikan Islam sebagai keyakinan yang valid. Apalagi Tan Malaka secara jelas menyatakan bahwa keyakinan akan Tuhan sebagaimana Islam berada di luar liputan Madilog. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang dikomentari dalam isu logika mistika adalah sesuatu yang dinilai salah juga dalam Islam.

Kami mengajak masyakat untuk mendalami Islam dari sumber yang valid, yakni Al-Qur’an, As-Sunah, dan berdasarkan pemahaman salaful ummah, sehingga tidak terjadi miskonsepsi atas agama. Juga masyarakat tidak perlu disibukkan dengan bacaan filsafat apalagi membacanya tidak keseluruhan sehingga menyimpulkan secara tidak tepat. Semoga Allah ﷻ merahmati kaum muslimin keseluruhan. Amin.

***

Penulis: Glenshah Fauzi


Artikel asli: https://muslim.or.id/103097-apakah-islam-termasuk-logika-mistika-ala-tan-malaka.html